RSS

Menemukan Jati Diri


Teman-teman, banyak dari diri kita yang merasa belum
menemukan jati dirinya yang sesungguhnya. Banyak pula
yang masih ngotot mengejar untuk menemukan jati
dirinya. Banyak juga yang sudah merasa diri mapan,
tapi anehnya merasa kosong dan hampa dalam dirinya.
Banyak lagi yang tidak mengerti, cuek, pasrah akan apa
kata orang tentang dirinya, bagaimana dirinya harus
bersikap, berusaha terus menyenangkan orang lain, dan
lain sebagainya. Maka dari itu saya pun penasaran
dengan tema pencarian jati diri ini. Saya pun masih
merasa berubah-ubah. Atau… apakah nanti ada suatu
‘rasa’ diri yang benar-benar merupakan ‘jati’ dari
diri kita? Atau memang kita tidak terbuat dari ‘jati’?
Mari kita setidaknya meniti kembali bersama-sama suatu
pencarian, suatu kemapanan (?) yang disebut sebagai
JATI DIRI ini.

Selalu kita terperangah ketika sudah saatnya tangan
kehidupan kembali menelusup zona kenyamanan kita.
Mengganti karir pekerjaan, mendefinisikan kembali
hubungan kita dengan orang yang kita cintai, memutar
arah menuju kawasan yang benar-benar tidak kita
ketahui, dan segala hal lain yang sanggup menohok kita
kembali ke dasar pemikiran. Kembali ke dasar perasaan.
Kembali bertanya-tanya. Tantangannya selalu sama.
Memperkuat benteng pertahanan tentang konsep diri kita
yang telah kita bangun dengan susah payah, atau
merubuhkannya sekali lagi. Namun sering kali kita
mudah tertipu oleh kehidupan. Kita sesungguhnya telah
berubah sekaligus terluka, bukan menjadi apa yang kita
inginkan, melainkan apa yang EFISIEN menurut
kehidupan. Drama bikinan manusia di kehidupan ini
boleh memiliki skenario yang itu-itu saja. Namun diri
kita hampir tanpa kita sadari telah mengikuti
efisiensi kehidupan. Kehidupan yang apa adanya.
Kehidupan alami.

Sewaktu-waktu dalam sesaat kita pasti pernah
bertanya-tanya, apa yang terjadi padaku selanjutnya?
Bisakah aku terus memiliki pola kehidupanku seperti
saat ini? Bisakah aku bertahan? Bagaimana kalau aku
tidak mampu? Apakah aku telah menjadi pecundang dalam
hidup ini? Pertanyaan sesaat ini selalu
mengendap-ngendap. Menemani dengan setianya.
Pertanyaan ini berdiam ketika diri kita sedang
bahagia, dan bergejolak ketika diri kita sedang
goyah-goyahnya. Pertanyaan sesungguhnya yang ingin
selalu kita ungkapkan adalah, apakah kehidupanku masih
akan selalu bisa terkontrol? Petualangan macam apa
yang bakal menantiku selanjutnya? Tantangan seperti
apakah? Apakah aku masih perlu belajar untuk secara
menyakitkan (?) mengubah jati diriku? Seturut orang
lainkah? Seturut tangan Tuhan/alam/kehidupan yang tak
terlihatkah?

Pertanyaan tinggallah pertanyaan. Namun kita tetap
akan nanar melihat masa depan yang masih ada yang
belum terbentuk. Bahkan ada yang belum terpikirkan.
Bagi yang berusia lanjut, kehidupan (?) setelah
kematianlah yang merupakan masa depan yang belum
terbentuk. Bagi yang masih berusia muda, puluhan tahun
ke depan masihlah merupakan masa depan yang
samar-samar, jika tidak mau dikatakan sebagai tak
berbentuk.

Seringkali aku terbesit rasa kagum melihat orang-orang
yang sudah cukup lanjut usianya (atau yang berusia
jauh di atasku). Aku kagum juga melihat ibuku sendiri.
Mereka telah menjalani kehidupan yang paling tidak dua
kali lipat lebih lama daripada diriku. Entah berapa
kali pada akhirnya jati diri mereka harus disesuaikan
kembali (mungkin sekali sudah pernah bongkar pasang
kembali). Membuat aku berpikir. Apakah jati diri
merupakan kumpulan pengalaman yang mengerak yang
kemudian memperkuat persepsi tentang dirinya?

Sebuah getaran yang terasa menetap. Sebuah ayunan
emosi yang tak bisa lagi terlalu berayun seperti dulu.
Sebuah kebosanan yang telah dipancangkan untuk bisa
memahami penderitaan hidup. Sealunan ayunan suara
merdu yang selalu membawa ke masa lalu. Itukah jati
diri? Ataukah, sebungkah harapan akan impian yang tak
muluk-muluk amat. Sebuah ambisi yang menyehatkan
badan. Suatu nasihat yang menetap untuk menerjang
tantangan hidup. Setapak langkah yang diiringi senyum
pasti dan kesiapan hati untuk kembali teriris. Dan
seonggok sinar semangat yang masih tersisa untuk
bangkit kembali?

Rasa takut yang tergetarkan oleh rasa cinta akan
kehidupan, membuat orang-orang terus bergerak bagaikan
lebah meneteskan madu-madu hikmat. Sepengamatan saya,
jati diri terus akan bergetar. Terus juga akan oleng,
kemudian balik kembali. Seolah-olah terbuat dari kapal
yang tak akan pernah tenggelam. Tapi ini adalah
asumsi….Kapal yang tak pernah tenggelam adalah sebuah
khayalan. Nyatanya kita pernah tenggelam. Setidaknya
sekali.

Ketika kita tenggelam. Ketika kita menemui perasaan
kita yang paling sentimentil. Ketika kita sudah merasa
paling dasar, namun ternyata masih terus meluncur ke
bawah. Ketika ledakan tangis dan tawa menjadi satu
memudarkan dan membongkar topeng-topeng peran/diri
kita. Ketika itulah kita dapat merasakan kembali
pelukan dari alam. Yang hangat. Dari bumi yang selalu
setia mendengarkan keluh-kesah kita. Kita kembali
mencium tanah tempat kita berasal. Merasakan degup
jantung yang detakannya seirama dengan denyut tanah.
Denyut bumi. Kita merasa terlindungi. Mendapatkan
tempat untuk bersandar. Merebahkan diri. Bahkan
merelakan jati diri kita, apapun itu…apapun.

Kenikmatan berpelukan dengan bumi menjadi suatu
kejelasan kesadaran. Suatu penglihatan. Suatu MOMEN.
Saat terindah yang bukan picisan. Saat terdiam. Saat
tersuci. Saat kita dicuci hati kita, menuju kehangatan
kasih yang tak terkira. Rasa takut telah bersekutu
dengan rasa cinta, walaupun rapuh, kita mulai
bergerak. NAMUN, di sinilah titik kritisnya. Simpul
yang akan membawa kepada pilihan. Menuju ke simpul
mati kah? Atau simpul yang terus bergerak tak
menjuntrung?

Lagi-lagi kita dihadapkan pada pilihan. Hidup adalah
pilihan. Benar? Salahkah? Hidup adalah spontanitas?
Saat kita jatuh adalah saat kita menjelas. Saat itu
terasa tiada pilihan. Hanya ada gerakan. Tidak begitu
spontan, masih memilih tapi jelas tidak hanya berhenti
pada kesadaran pada pilihan. Bahkan kesadaran akan
adanya pilihan tak perlu ada. Kita memilih titik.
Kemudian jalan.

Itu saat kita jatuh. Lalu kehidupan bagi kita
berangsur-angsur berjalan normal kembali. Pelan-pelan
kita mulai mencari-cari posisi kenormalan diri kita.
Tentu kita tidak mau terus berkubang dalam
persentimentilan (perasaan sentimentil). Oleh karena
itulah kita mulai memasang titik referensi dimana saat
kita masih merasa normal sebelum kita jatuh. Nah, kita
kemudian akan berusaha terus ke arah titik referensi
tersebut -- yang bisa berupa kenangan saat kita
santai, rileks menghadapi tantangan, atau pada saat
ambisius, dlsb, yang tentu bisa dijadikan titik
perasaan normal, bila dibandingkan dengan perasaan
saat jatuh, yaitu depresi, sedih berkepanjangan,
uring-uringan, gampang marah, dlsb -- .

Normal – bangun – mengejar mimpi – terjatuh – bangkit
– mencari titik normal – merasa normal – bangun lagi –
mengejar mimpi -- dst. Ini adalah sebuah siklus alami
kehidupan manusia di bumi ini. Dan pencarian jati diri
kita terletak pada posisi siklus – mencari titik
normal -- . Tentu tidak harus seperti siklus di atas.
Namun perlu disadari terkadang yang kita cari sebagai
jati diri sebenarnya adalah rasa kenormalan diri kita.
Normal mengindikasikan rasa terbiasa pada diri kita.
Hal apa yang membuat diri kita terasa paling nyaman?
Bisa dikatakan, hal-hal tersebutlah yang merupakan
kulit dari konsep-konsep kita mengenai jati diri kita.
Tentu saja, kalau kita hanya mendefiniskan jati diri
kita terhadap hal-hal materi di luar diri kita, maka
kita akan mendapatkan konsep-konsep jati diri kita
yang terlihat kaku, yang dapat membuat kita merasa
bertanya-tanya karena mungkin kita akan cepat bosan
dengan pengkaitan atau pelabel-labelannya. Tentu kita
tidak akan pernah rela didefinisikan seperti sebuah
konsep mati. Tentu kita selalu berusaha agar jangan
sampai diri kita mudah ditebak. Namun anehnya, kita
menginginkan diri kita mudah ditebak/diperkirakan oleh
kita sendiri. Kita ingin terbiasa dengan diri kita
yang kemudian hanya merupakan taktik kita belaka
supaya bisa TERBIASA dengan kehidupan.

“Apa agama anda? Islam. Terus agama anda yang satu
lagi? Katolik. Lho kok bisa punya dua agama?” Kita
mulai protes kepada orang ini yang mengaku mengimani
dua agama sekaligus. Tentu terasa aneh kalau ada orang
yang mengaku mengimani lebih dari satu agama. Namun
mulai terasa lain halnya kalau pertanyaannya diubah
sedikit. “Apakah jati diri anda? Islam. Islam?
Benarkah jati diri anda Islam?” Kita akan mulai ragu.
Dalam hati kecil kita tetap terasa diri kita tak akan
rela didefinisikan bahkan dengan label agama
sekalipun. “Oh anda Islam garis keras toh…!” Apalagi
pernyataan ini, pada umumnya kita akan segera marah…!

Oleh karena itulah hampir semua orang tidak suka bila
dirinya dihakimi, dinilai, distereotipkan,
digeneralisirkan atau
disamaratakan/dikelompok-kelompokkan. “Aku ya aku”,
itulah motto diri kita semua. Kita selalu merasa diri
kita unik. Tidak ada duanya. Tanpa kita sadari, sesuai
dengan sifat kehidupan yang memang berubah-ubah,
kitapun sebenarnya tidak ingin konsep diri kita
menetap selamanya. Hanya saja, tetap saja ada yang
terasa aneh. Kita tetap sering terasa belum menemukan
jati diri kita sesungguhnya. Kita selalu merasa
seluruh potensi kita akibatnya belum tergarap dengan
optimal karena belum menemukan jati diri yang
sesungguhnya. Dengan kata lain, mungkin sebenarnya
kita telah menunggu godot hanya untuk mengantarkan
kita pada tanda tanya lain mengenai jati diri kita.
Umur kita bakalan keburu habis hanya untuk memburu
jati diri. Layakkah?

Lagi-lagi pertanyaan bukan? Lalu bisa dihentikankah
pertanyaan-pertanyaan sejenis seperti ini? Bisakah
kita hanya kemudian mengklaim saja, jati diri tak usah
capek-capek ditemukan, toh sesungguhnya tak perlu
dicari, hanya perlu menghayati kehidupan ini…?
Menghayati kehidupan. Hanya berjalan. Langkahkan
kakimu. Rengkuh seluruh ayunan perasaanmu. Raih
pendewasaanmu secepatnya. Jangan tunda apapun, jika
memang penundaan terasa seperti kesia-siaan. Dan
jangan berjalan buta jika diam adalah langkah yang
paling efektif dan efisien. Lalu selamat datang
ketidakpastian. VOID.

Ketika rencana pudar menjadi langkah yang melebar
kesana-kemari. Ketika hidup tidak mengenal kata
ketidakefisienan. Ketika jati diri hanya terasa
(terasa….*tenggg) seperti dengung lebah yang
menghangat di hati. Dan ketika pikiran tidak bisa
diajak berlogika. Emosi bahkan tidak bisa diajak
bersentimentil ria. Nyerah? Pasrah? Bukan…. Bukan
menyerahkan kontrol diri kita. Hanya merengkuh
kembali. Segalanya yang sudah ada di dalam diri kita
yang juga tercakup segala yang di luar diri kita.
Bahkan, jati diri pun tidak bisa diikat dengan kata
label, ‘dalam diri’. Jati diri (jikapun merupakan
konsep), ada di dalam diri sekaligus di luar diri
(tentu ini masih dalam tataran konsep). Jika kita mau
keluar dari tataran konsep (sesungguhnya masih konsep
juga)…., jati diri adalah sesuatu yang kita
perkenankan masuk dan kita perkenankan keluar (dengan
‘sesuatu’ bisa apa saja, tidak dikonsepkan secara
kaku). Semakin lancar aliran ‘sesuatu’ yang masuk dan
keluar dalam diri kita, semakin berdesinglah diri kita
seturut denyut kehidupan di bumi ini. Semakin mandeg
aliran tersebut, semakin banyak pula makna yang kita
dapatkan untuk kemudian menjadi harta kenangan setelah
dilepaskan (setelah berdesing kembali). Jadi, lancar
maupun mandeg sekali lagi merupakan siklus alami dari
berdesing (mengalami), kemudian memaknai pengalaman
tersebut sesuai dengan keinginan kita sebagai manusia,
yaitu pemaknaan kehidupan di bumi.

Bisa disimpulkan, yang merupakan ‘jati’ pada diri kita
adalah fungsi pemaknaan dari kehidupan diri kita.
Fungsi pemaknaan bukanlah makna itu sendiri. Itulah
mengapa wajar sekali kita selalu (seperti ada
siklusnya) merasa bisa kehilangan jati diri. Kita
mencari makna dari dalam diri kita (karena kita
mengira menemukan jati diri samadengan menemukan
pemaknaan hidup kita). Padahal makna diciptakan dari
dalam diri kita, bukan ditemukan! Tentu ini bukanlah
saran supaya kita mempunyai jati diri yang lentur
sekali. Tentu bukan itu. Jati diri yang terasa terlalu
lentur bahkan bisa kehilangan sebagian besar daya
fungsi pemaknaannya. Buat apa terlalu mengalir bersama
kehidupan jikalau nanti cuma terasa kehidupan berjalan
terlalu cepat bagi diri kita. Namun tidak perlu pula
ngotot berdiam diri untuk terus mengunyah makna-makna
yang sudah terlalu usang dan menjadi lengket sehingga
malah kehilangan kesempatan berharga untuk mendapatkan
kekayaan pemaknaan yang sangat beranekaragam yang
ditawarkan oleh kehidupan ini. Lebih baik kita
tertatih-tatih belajar berjalan bersama denyut langkah
kehidupan ini, sambil mendapatkan momen-makna yang
dapat membuat jiwa-jiwa kita berekspresi riang.

Jadi… selamat mengumpulkan momen-makna anda. Sadari
anda memiliki ‘jati’ diri anda, sehingga anda dapat
belajar menggunakannya. Tak perlu berusaha menemukan
jati diri anda. Anda akan tahu sendiri mana yang
terasa sebagai jati diri anda, karena ‘jati’ selalu
melambangkan kualitas anda sebagai manusia (karena
menjadi manusia adalah hal yang paling berharga di
kehidupan ini). Jadi, jika anda sudah mengetahui
betapa tak ternilainya anda sebagai manusia (dan
memang hampir seluruh manusia di bumi ini memandang
dirinya sangat tinggi), tentu anda sudah mengetahui
itu merupakan ‘jati’ diri anda bukan?

0 comments:

Post a Comment